
SOMBALAK
KISAH CINTA DI LAUT ARAFURA
ACKNOWLEDGEMENT
Kami mengakui dan menghormati masyarakat Aborigin dan Makassar di Australia dan memberikan penghormatan atas ketahanan, hubungan mereka dengan budaya, komunitas, dan negara kami.
Sombalak – kisah magis yang berdasarkan pada kontak pra-Eropa antara pelaut Makassar dari Pulau Sulawesi di Indonesia dengan daratan bernama Marege, wilayah pesisir paling utara yang sekarang menjadi Australia.
Alih-alih sekadar kisah sejarah yang membosankan, Sombalak menelusuri kisah cinta antara seorang wanita Yol?u dan seorang pelaut muda Makassar melalui lagu, tarian, dan multi-media yang disajikan sebagai peristiwa teater besar.

Mengikuti jalur perdagangan teripang/teripang pada kurun waktu 1700-1900, pengembangan kisah cinta ini terinspirasi dan diciptakan oleh seniman dari daerah di Selat Makassar, Timor, Teritori Utara Australia, Samudera Arafura, dan Samudera Hindia.
THE PLAY
From Dari Sejarah ke Kisah Cinta
Selama perdagangan teripang hingga tahun 1907, suku Makassar dan suku Aborigin Australia, khususnya di Marege (nama suku Makassar yang merujuk ke garis pantai Australia utara), menjadi mitra dagang dan hubungan keluarga yang bersejarah. Pertemuan selama ratusan tahun ini didokumentasikan dalam berbagai adat istiadat arkeologis, historis, sosial, dan budaya, mulai dari gambar perahu dan layar yang ditemukan dalam lukisan gua di Australia Utara dan lukisan kulit kayu Aborigin hingga songlines (cerita lagu tradisional Aborigin). Dari inspirasi ini, untuk proyek ini, kami memilih kata Sombalak, layar, dalam bahasa Makassar, yang juga dikenal sebagai Dhomala, Djomula, atau Dhumala dalam Bahasa Yol?u.
Mengetahui bahwa ada banyak persahabatan, kisah sedih dan bahagia di antara orang-orang ini, kami memutuskan untuk menyajikan kisah cinta untuk merayakan pertemuan ini. Sebuah kisah yang dapat menghubungkan semua orang, tidak hanya antara suku Makassan-Marege tetapi juga mereka yang mencari makna hubungan melalui perayaan budaya bersama dan kisah bersama antara berbagai bangsa, menyoroti interaksi dan ketahanan yang dinamis dari budaya tertentu, dan juga sesuatu yang melambangkan hubungan dan transformasi spiritual yang mendalam, menggambarkan ikatan abadi yang dapat melampaui batas geografis. Ditujukan untuk disajikan sebagai produksi opera kontemporer, Sombalak memadukan unsur-unsur musik tradisional, tari, dan penceritaan dari budaya Makassan dan Aborigin Australia, menciptakan presentasi suara dan gerakan yang kaya dan kompleks yang meningkatkan narasi. Penonton diundang untuk mengalami harmonisasi tradisi musik ini, yang tidak hanya memperkaya penceritaan tetapi juga merayakan warisan budaya bersama yang menyatukan komunitas ini.
THE PLAY
Ringkasan
Sombalak adalah opera yang menceritakan kisah hubungan dagang historis antara pelaut Makassar dan penduduk asli Australia Utara sejak pertengahan abad ke-18. Berlatar belakang pertukaran budaya dan perdagangan teripang, mutiara, dan cangkang penyu, pertunjukan ini mengisahkan seorang pelaut Makassar yang jatuh cinta pada seorang wanita Pribumi. Kisah cinta mereka terungkap di tengah interaksi budaya yang dinamis dan tradisi bersama masyarakat Marege, Bugis, dan Makassar. Perjalanan pasangan ini menyeberangi Laut Arafura melambangkan hubungan spiritual yang mendalam, saat mereka menghadapi kompleksitas hubungan mereka dan tantangan ekspektasi budaya.
Tragedi terjadi saat pelaut tersebut hilang di laut, meninggalkan wanita itu untuk kembali ke Marege bersama anak mereka, mewujudkan perpaduan budaya mereka. Melalui musik dan tari, Sombalak merayakan ikatan abadi dan sejarah bersama antara komunitas-komunitas ini, dengan menonjolkan tema cinta, ketahanan, dan hubungan spiritual. Sasaran kami adalah untuk berbagi opera ini dengan penonton di Australia, Indonesia, dan sekitarnya, serta menumbuhkan apresiasi atas ikatan budaya mendalam yang menyatukan wilayah ini.
UNSUR-UNSUR SENI
Koneksi Spiritual
Baik suku Aborigin Australia maupun suku Makassar dikenal karena budaya spiritual mereka yang kuat. Suku Aborigin Australia percaya bahwa mereka selalu berada dalam hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan dunia spiritual. Pemahaman mereka terletak pada praktik sehari-hari, sistem bahasa, tradisi lisan, ritual, serta seni dan kerajinan. Di Pulau Sulawesi, suku Bugis atau Bugis, merupakan suku bangsa terbesar di Sulawesi (di samping suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar, suku Toraja, dan suku bangsa lainnya). Suku Bugis adalah penjaga I La Galigo, buku dari abad ke-14 yang diakui sebagai manuskrip terpanjang di dunia dan diakui sebagai bagian dari The Memory of the World oleh UNESCO pada tahun 2011. Dokumen ini menggambarkan sejarah lisan suku Bugis, dengan penekanan khusus pada tradisi puisi dan nyanyian mereka, serta menggambarkan berbagai ritual yang masih ada dalam masyarakat Sulawesi. Naskah tersebut menguraikan hubungan timbal balik antara manusia-alam-roh dan, melalui perjalanan tokoh utamanya, menggambarkan kompleksitas manusia dan alam semesta yang dikenal melalui kisah-kisah perjalanan, cinta, perang, dan upacara dalam epik ala Odyssean.

Gambar naskah I La Galigo. Episode Awal Dunia Tengah. Gambar oleh Andi Awaluddin. Naskah milik Indo Mosi di desa Tosora, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
Indo Masse, pembaca I La Galigo ternama terkini di Wajo, Sulawesi Selatan.
UNSUR-UNSUR SENI
Koneksi Spiritual
Dalam naskah I La Galigo, tokoh utamanya gemar bepergian, tetapi tidak akan bepergian kecuali jika ia ditemani oleh salah satu dari tujuh orang istimewa; teman-teman berkulit kecokelatan dengan rambut keriting, dapat berbicara dengan hewan, membaca bintang, yang menyukai seni dan ritual, serta berasal dari dunia bawah (mungkin merujuk pada “Negeri di Bawah”?). Tentu saja, pengalaman produser Makassar kita dalam bertemu dengan orang-orang Yol?u modern membuatnya yakin bahwa mereka adalah tujuh orang istimewa yang diidentifikasi dalam I La Galigo.
Di antara orang-orang Yol?u di Arnhem Land, mereka memiliki kepercayaan terhadap Bayini, sosok spiritual perempuan yang datang dari belahan utara dunia mereka dan tiba di Australia serta tinggal bersama mereka, mengajarkan mereka pengetahuan yang berharga dan akhirnya menjadi pelindung tanah, laut, dan langit. Bayini dalam bahasa Sulawesi berarti wanita atau istri –dan memiliki arti yang sama dalam bahasa Yol?u. Kisah Seven Sisters juga penting bagi masyarakat Aborigin Australia sebagai cara mereka menghubungkan diri melalui koneksi dengan langit dan tanah.
Sekelompok penari Yol?u dan pemimpin muda di Pulau Elcho-Wilayah Utara melakukan Bunggul/tarian dan lagu tentang tanah
UNSUR-UNSUR SENI
Musik
Musik memainkan peran utama dalam opera Sombalak, menekankan hubungan antara waktu dan ruang. Bentuk musik tradisional dan kontemporer dari Aborigin Australia dan Makassar digunakan. Gurrumul Yunupingu, seniman Yol?u yang fenomenal, menjadi inspirasi utama bagi Sombalak dan upaya kami untuk menjembatani dunia musik tradisional dan kontemporer Aborigin Australia. Suara yidaki (didgeridoo) yang dalam dan menggelegar serta ketukan sakral bilma (clapstick) bertemu dalam dinamika ansambel Makassar. Keindahan gandrang (gendang tangan), suling bernada tinggi puik puik, gong berirama, alat musik kayu dan senar serta berbagai manikay, alunan lagu, mantra, kidung, ratapan, dan lagu daerah, semua bersama-sama akan menjadi bagian dari perayaan untuk hubungan kembali antara dua budaya, dua dunia, dua keluarga, dan dua bangsa.
Pakarena, tarian klasik Makassar yang dibawakan oleh empu Daeng Serang dan Daeng Mile di desa Kalase’rena-Takalar, Sulawesi Selatan.
UNSUR-UNSUR SENI
Suara/Lagu
Dalam masyarakat Bugis, terdapat kelompok khusus yang disebut Bissu. Kelompok cis-gender ini dikenal sebagai pemimpin spiritual yang memiliki tugas untuk melestarikan pengetahuan tradisional melalui pengabdian seumur hidup untuk melayani masyarakat. Bissu memiliki kemampuan khusus untuk terhubung dengan dunia spiritual, menjembatani kesenjangan antara fisik dan metafisik, dan diyakini mampu mengirim dan menerima pesan dari roh. Praktik perdukunan mereka memungkinkan mereka untuk melakukan konsultasi spiritual dan pengobatan. Di wilayah Makassar bagian selatan, terdapat tradisi lisan yang disebut Royong, di mana lirik diambil dari lagu dan cerita lama, dan ditafsirkan ulang sebagai lagu pengantar tidur, lagu penyembuhan, sambutan liris, lagu pernikahan, dan acara serupa, yang sering kali diaransemen oleh Bissu.
Orang Aborigin Australia juga memiliki tradisi lisan untuk merekam cerita mereka melalui lagu, mantra, cerita, nyanyian yang mereka identifikasi sebagai Songlines. Pengetahuan, nilai, garis keturunan keluarga, praktik, cerita tentang tanah, dan banyak lagi, mereka digambarkan dalam Songlines mereka. Suku Yol?u dari Arnhem Land di Teritori Utara memiliki banyak Songlines yang menghubungkan mereka dengan kerabat mereka dari suku Makassan. Mereka memiliki Songlines khusus yang disebut Djapana (mimpi matahari terbenam) yang menggambarkan pemandangan perahu layar dari suku Makassan di seberang cakrawala, berlayar kembali ke Makassar sementara suku Yol?u berdiri di pantai sambil melambaikan tangan dan berharap mereka akan bertemu lagi di musim berikutnya. Jumlah lagu Djapana tidak terhitung banyaknya karena setiap klan/artis memiliki interpretasi mereka sendiri. Songlines tentang suku Makassan dan suku Yol?u yang bekerja sama termasuk barang dagangan, bermain kartu, mendayung kano, atau berenang menyeberangi ombak laut.
Ardiansyah, seorang Bissu muda, menyanyikan lantunan Bissu bersama Wahyu dan Anjelita bernyanyi royong
UNSUR-UNSUR SENI
Tarian
Sebagai masyarakat pesisir, terdapat banyak kesamaan antara suku Makassar dan suku Aborigin di Northern Territory. Beberapa kesamaan ini ditunjukkan dalam gerakan tangan dan kaki dalam tarian mereka. Suku Yol?u memiliki gerakan yang menggambarkan adegan perdagangan, barter, bermain kartu, berburu binatang, atau menelusuri jejak di pasir. Suku Makassar menggunakan hentakan kaki mereka di tanah untuk mewakili hubungan mereka dengan roh, untuk memperoleh kekuatan dari bumi, dan untuk menunjukkan keberanian dan kegembiraan. Para wanita dalam tarian Pakarena menggerakkan tangan mereka dengan lembut dan sedikit, menggunakan langkah-langkah meluncur untuk tetap terhubung dengan bumi dan tetap tenang di tengah rintangan, berbeda dengan para pria yang memainkan genderang cepat, suara keras, dan seruling, untuk mewakili kekuatan batu yang berdiri kokoh di tengah lautan yang berbadai. Keseimbangan hidup antara kekuatan pria dan keanggunan wanita.
Dengan begitu banyak aktivitas harian mereka yang dilakukan di dekat laut, suku Aborigin Australia juga menampilkan gerakan kaki mereka yang luar biasa dalam tarian, khususnya selama siklus ritual yang mereka sebut Bu?gul. Gerak kaki menunjukkan hubungan mendalam mereka dengan bumi dengan menggunakan satu kaki untuk berdiri dan dua kaki untuk bergerak sejajar, meluncur, melompat, zig-zag, dan sebagainya. Dalam kedua budaya tersebut, gerak kaki sangat kaya.
Manuel Dhurrkay dari Skinnyfish’s Saltwater Band, menunjukkan gerakan dari klannya dengan lagu ciptaannya sendiri, Lunggurma, the trade wind, selama tahap pertama penelitian lapangan dan lokakarya di Makassar.
UNSUR-UNSUR SENI
Arsitektur
Dalam budaya Makassar, rumah dan perahu dikatakan dibangun seperti representasi manusia. Rumah dan perahu memiliki struktur rangka seperti manusia, kulit luar untuk melindungi dan memperindah, serta banyak komponen dalam yang memberikan arah dan kekuatan; baik secara fisik maupun filosofis. Dalam tradisi pembuatan perahu, ada ritual awal agar pohon dapat dengan mudah ditebang untuk dijadikan perahu. Proses pembangunan yang sebenarnya membutuhkan banyak elemen spiritual dan romantis yang, seperti pernikahan, merupakan keterlibatan seluruh keluarga selama periode pembangunan yang panjang. Setelah perahu selesai, proses menarik perahu ke laut diibaratkan seperti seorang ibu melahirkan. Ini bukanlah tugas yang sepele atau kasar, tetapi proses ini diselesaikan dengan kesadaran, kegigihan, kekuatan, dan doa yang berkelanjutan. Tempat berteduh dari kulit kayu oleh orang Aborigin juga mencerminkan pemahaman mendalam mereka tentang kontinum waktu dan ruang. Meskipun hanya ada sedikit rumah tradisional kayu permanen dalam budaya mereka, karena kebakaran dan banjir musiman, konstruksi sementara ini mencerminkan dan menjaga hubungan yang mendalam dengan musim, iklim, dan lingkungan.
Desain panggung untuk pertunjukan Sombalak sebagian besar terinspirasi oleh struktur perahu, rumah, dan layar dengan elemen yang dapat digerakkan dan multifungsi. Tiang-tiang kayu mewakili struktur rumah, tempat berteduh, dan perahu. Bambu panjang dan batang kayu menciptakan layar yang dapat digerakkan dan dilipat, besar dan kecil, serta dapat dinaiki dan diproyeksikan ke layar untuk memberikan elemen visual digital. Para pemain (pemusik dan penari) berperan sebagai awak prau (perahu) dan bekerja, menari, bernyanyi, memainkan musik dengan latar belakang artefak dan motif ini menjadi bagian yang kuat dan konstan dari pertunjukan panggung.


Baik tempat perlindungan Makassar maupun Aborigin memiliki struktur umum yang terbuat dari bahan organik dari tanaman asli.
UNSUR-UNSUR SENI
Lukisan
Lukisan kulit kayu merupakan karya seni ikonik yang dipraktikkan oleh masyarakat Aborigin Australia Utara. Diambil dari kulit pohon berserat, diratakan, dan dicat dengan pigmen tanah dan oker menggunakan kuas rambut manusia, setiap suku memiliki pola sakralnya sendiri dan setiap seniman memiliki interpretasi yang berbeda. Pertemuan antara masyarakat Aborigin dengan orang luar dan alam spiritual telah terkenal dituangkan ke dalam kulit kayu, totem, patung kayu, dan lukisan gua.
Gambar layar dan lambung perahu tradisional Makassar yang dilestarikan dan dibuat oleh seniman Teritori Utara mencakup lebih dari sekadar referensi kenangan mereka tentang teman dan keluarga Makassar mereka. Undang-Undang Imigrasi Australia pada tahun 1901 menciptakan pemisahan besar-besaran antara masyarakat Aborigin Australia dan Makassar dan kesedihan, kesedihan, dan kenangan lama saat itu dituangkan ke dalam lukisan kulit kayu, termasuk layar berbentuk lengkung yang ikonik beserta ratusan Songlines tentang hubungan yang terputus.

Bugwanda Mamarika, c. 1970, Makassan Perahu. 77,5 x 50cm
Pigmen alami pada kulit kayu. Museum & Galeri Seni Northern Territory, Darwin

Nur Al-Marege. Jenis perahu tersebut dinamakan Perahu Padewakang.
Gambar oleh Ridwan Alimuddin. 2018
UNSUR-UNSUR SENI
Menunan
Kerajinan Aborigin kuno berupa pembuatan tikar, keranjang, dan tas dari daun Pandan masih dilakukan hingga saat ini. Banyak upaya yang diperlukan, mulai dari pengumpulan bahan, pencampuran bahan pewarna, pembuatan desain yang tepat, hingga penenunan benang Pandan terakhir. Di Indonesia, ada juga tradisi kuat berupa kain tenun tangan yang terbuat dari alam dan layar Makassar adalah contoh bagus dari bahan tenun tangan yang terbuat dari serat kelapa sawit. Demikian pula, setiap suku memiliki cerita mereka sendiri, warna dan pola yang berbeda untuk mewakili hubungan mereka dengan manusia dan alam.
Sayangnya, jenis layar yang telah digunakan selama berabad-abad pada perahu tradisional menjadi langka, dan dengan cepat digantikan oleh bahan buatan modern. Bertentangan dengan tren ini dan untuk menghormati metode tradisional, Sombalak akan menggunakan kain asli, yang diubah bentuknya dan diubah oleh penenun lokal untuk adegan-adegan tersebut.

Anyaman gunga atau pandan. Diwarnai hanya dengan bahan alami

Lipa’ Sabbe. sarung sutera alam tenunan tangan.
Koleksi pribadi Abdi Karya.
UNSUR-UNSUR SENI
Bahasa Isyarat / Sinyal Tangan
Bahasa isyarat berfungsi sebagai bahasa alternatif bagi para tuna rungu dan orang yang dapat mendengar, dan secara informal di antara orang-orang yang berbeda bahasa. Namun, dalam budaya Aborigin Australia dan Makassar, bahasa isyarat juga merupakan bahasa yang kaya yang digunakan dalam tarian, ritual, dan kekerabatan, yang sering kali mengekspresikan hubungan yang mendalam dengan alam. Bahasa isyarat tersebut juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam gerakan, lagu, dan tradisi, serta memainkan peran penting dalam komunikasi bimodal-dwibahasa. Selain itu, bahasa isyarat memiliki tujuan tambahan dalam situasi tertentu, seperti selama masa berkabung, ketika ada hal-hal suci, selama interaksi dengan anggota keluarga yang perlu dihindari, atau selama berburu, memancing, dan komunikasi jarak jauh yang memerlukan isyarat diam.
Don Wininba dari Pulau Elcho memperkenalkan isyarat tangan untuk hewan saat memancing.
THE SCENES
Kedatangan Pelaut Makassar
Kisah kami bermula di Makassar, Sulawesi, Indonesia, jauh dari pesisir Marege. Di sana, sebuah upacara spiritual akbar digelar di pantai, dengan panggung bambu yang dihiasi oleh para musisi, seniman, dan penari. Para Bissu, pemimpin spiritual Makassar, memberkati pertemuan itu dengan tarian anggun mereka, membuka opera dengan menyatukan dunia roh, dunia bawah, dan masa kini. Udara dipenuhi dengan irama drum yang kuat, nyanyian ratapan, dan suara harmonis dari basing-basing, djolin, dan pui pui. Di desa terdekat, sebuah perahu layar besar, atau prau, sedang dibangun. Suasananya semarak, penuh kehidupan, dan perayaan saat perahu dipersiapkan untuk perjalanannya ke Marege. Perahu yang ditarik ke air oleh enam puluh tangan itu berlayar dengan seekor ayam jantan seremonial di atasnya, menandai dimulainya perjalanan epik.

Pertemuan Pertama
Pelayaran melintasi lautan dipenuhi dengan lagu-lagu dan cerita tentang dunia bawah dan roh-roh yang tinggal di bawah ombak. Saat prau tiba di Marege, para pelaut turun dan mendarat di pantai dengan kano. Mereka bergabung dengan masyarakat dalam memanen teripang, sebuah praktik yang kaya dengan tradisi, lagu, dan tarian. Tubuh-tubuh penduduk setempat yang dicat, bernyanyi mengikuti irama didgeridoo dan clapstick menciptakan sambutan yang harmonis bagi para pengunjung.
Beberapa malam kemudian, di bawah cahaya api unggun yang berkedip-kedip, seorang pelaut muda Makassar bertemu dengan seorang gadis Yol?u yang cantik. Ketertarikan mereka langsung terjalin, dan selama minggu-minggu berikutnya, mereka jatuh cinta. Namun, tradisi Yol?u mengikat, dan wanita itu dijanjikan kepada para tetua. Negosiasi pun dimulai, yang melibatkan parang, pisau, kain, tembakau, dan banyak lagi. Akhirnya, para tetua mengizinkannya pergi bersama kekasihnya.

THE SCENES
Sebuah Perjalanan Transformasi
Menyamar sebagai seorang pria, wanita itu menaiki prau untuk perjalanan kembali ke Makassar. Dalam perjalanan ini, kita akan menjelajahi kedalaman komunikasi mereka dengan langit, roh, dan lautan, menggunakan isyarat tangan yang rumit dan Sombalak (layar) yang simbolis. Layar itu sendiri menjadi pembawa pesan, yang membawa makna hasrat dan kerinduan di antara sepasang kekasih yang terpisah. Sekembalinya mereka ke Makassar, pasangan itu disambut dengan hangat oleh desa. Mereka menikah, dan sebuah rumah bambu besar dibangun untuk mereka oleh penduduk desa. Lagu dan tarian mengisi hari-hari mereka, merayakan persatuan mereka dan perpaduan budaya yang mereka wakili.

Perpisahan yang Menyakitkan
Saat musim teripang tiba lagi, prau bersiap untuk berlayar kembali ke Marege. Awalnya pasangan itu kecewa dengan perpisahan yang menyakitkan, tetapi akhirnya keduanya diizinkan untuk berlayar bersama di atas kapal. Meskipun bahagia dan saling mencintai, wanita muda itu juga rindu kampung halaman dan sangat gembira dengan kesempatan untuk kembali ke tanah airnya dan bersatu kembali dengan orang-orang Klannya. Namun, perjalanan itu berbahaya dan pada suatu malam yang penuh badai, kekasihnya yang bernasib malang itu hilang di laut. Laut terus bergolak dan mengamuk, tetapi akhirnya prau yang malang itu mencapai pantai Marege sekali lagi

THE SCENES
Akibat Kehilangan
Di Marege, keheningan melanda saat berita kematian pelaut itu menyebar. Bissu mengunjungi wanita yang berduka itu, berbagi cerita dari arwah suaminya yang tenggelam. Upacara berkabung pun berlangsung, dipenuhi dengan lagu-lagu dan air mata. Prau itu pergi tanpa dia karena dia tetap bersama keluarganya, menemukan pelipur lara dalam irama yang sudah dikenal di komunitasnya. Suatu pagi tak lama kemudian, dia terbangun di musim kemarau dan mendapati dirinya hamil. Anak itu, yang lahir dari cinta yang hilang antara seorang pelaut Makassar dan istrinya yang berasal dari suku Yolgu, menjadi jangkarnya. Selama tiga musim, dia membesarkan anak itu, bergabung dalam kegiatan masyarakat, membesarkannya di lingkungan yang sudah dikenalnya di rumahnya meskipun kenangan tentang rumah suaminya masih melekat.

Kembali ke Makassar
Saat anak itu berusia tiga tahun, masyarakat bernyanyi dan mempersiapkan perjalanannya kembali ke Makassar. Perjalanan terakhir ini ditandai dengan kunjungan lain dari para Bissu yang membawa wahyu bahwa suaminya telah menemukan kedamaian dan kebahagiaan spiritual di akhirat. Meskipun kehilangan, dia menyadari kedalaman cintanya dan kebahagiaan yang dibawanya. Di pantai, adegan terakhir terungkap. Ada lagu dan tarian, dengan musisi dan penyanyi dari kedua budaya merayakan sejarah bersama mereka. Anak itu, yang sekarang sudah menjadi anak laki-laki, merangkul warisan Marege dan Makassar-nya, menarikan tarian yang pernah dirayakan ayahnya.
Sombalak lebih dari sekadar kisah cinta. Kisah ini merupakan bukti ikatan abadi antara dua budaya yang berjauhan, hubungan spiritual yang melampaui hidup dan mati, dan ketahanan masyarakat kita.

SCENERY DEVELOPMENTS
(Dalam Beberapa Sketsa)
JOURNEY OF STAGE ONE PRODUCTION – 2024

October 2014
Benih-benih inspirasi bermula saat Abdi Karya bertemu kembali dengan para leluhurnya di Makassar melalui kunjungan seniman Yolnu ternama dunia Geoffery Gurrumul ke sebuah festival jazz Makassar. Setelah presentasinya, Abdi menyelenggarakan tur bagi Gurrumul untuk menceritakan kisah kota kuno Makassar. Mike Hohnen mengunjungi Rumata dan mulai menjajaki cara-cara untuk berkolaborasi di masa mendatang.

April 2024
Butuh waktu satu dekade untuk mewujudkan kolaborasi ini. Skinnyfish menerima hibah untuk mengembangkan ide tersebut dan bersama Abdi Karya memulai serangkaian pertemuan dan penelitian daring, memutuskan bahwa babak pertama harus berlatar di Makassar dan memberikan kisah emosional tentang pertemuan kedua komunitas tersebut, bukan sekadar menggambarkan catatan sejarah.

Juni 2024
Penelitian lapangan dilakukan di Makassar dengan melibatkan 12 musisi, 4 penari dan seniman video, termasuk Daeng Serang sebagai master seni tradisional Makassar. Latihan utama diadakan di Benteng Somba Opu, bekas kerajaan Gowa, tempat pelabuhan Makassar memulai perdagangan teripang. Tim juga berhasil bertemu dengan Bapak Todd Dias dari Konsulat Jenderal Australia selama persiapan festival musik Prolog.

Juli 2024
Rekaman suara dengan suara perempuan Makassar bersama diaspora Makassar di Victoria di Auburn Studio, Melbourne

Augustus 2024
Abdi Karya menghadiri festival Garma dan berhasil bertemu dengan para pemain Yolnu dan tetua perempuan setempat. Ia juga berkesempatan mengunjungi Pulau Elcho untuk bertemu dengan Don Winimba untuk wawancara dan pelajaran dasar singkat tentang gerakan sehari-hari dan isyarat tangan bahasa isyarat Yolngu.

September 2024
Latihan untuk pementasan karya yang masih dalam proses, yang difokuskan pada adegan pembuka opera, dilakukan di Makassar dengan seluruh aktor dan karakter Makassar. Adegan diakhiri dengan kedatangan di Marege (Australia Utara) dan pertemuan dengan anggota klan Yolgnu. Tim berhasil menyampaikan pementasan langsung selama 15 menit, diikuti oleh 2 pementasan karya yang masih dalam proses kepada anggota Dewan Institut Australia-Indonesia pada sore hari dan audiensi kolektif seniman Makassar pada malam harinya.

Oktober 2024
Pertemuan daring untuk rekaman video/lapangan di Pulau Elcho-NT untuk bagian kedua opera dan rekaman Video dengan para pemain Yolngu di Pulau Elcho-NT untuk adegan di Marege.
ACTIVITIES OF STAGE ONE
(Lokakarya dan presentasi pekerjaan yang sedang berlangsung)









OUR TEAM
INITIAL ARTISTS
MICHAEL HOHNEN
(CO-ARTISTIC CURATOR. AUSTRALIAN)

Warga Australia Utara tahun 2013, musisi pemenang penghargaan ARIA, dan produser beberapa album pemenang penghargaan ARIA, Michael Hohnen terkenal karena kemitraan pribadi, musikal, dan profesionalnya yang erat dengan mendiang musisi Yolngu yang disegani, Geoffrey Gurrumul Yunupingu. Bersama mitra bisnisnya Mark Grose, Michael merupakan salah satu pendiri label musik Skinnyfish Music yang diakui secara nasional, sebuah perusahaan dengan rekam jejak yang luar biasa dalam memproduksi proyek musik dengan band-band Aborigin dan komunitas mereka di seluruh Wilayah tersebut.
Lulusan VCA Melbourne, dan dengan karier musik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun, pada akhir tahun 80-an awal 90-an Michael melakukan tur Eropa dengan orkestra string kamar dan band pop ‘The Killjoys’. Sejak saat itu, ia telah melakukan tur di Australia, Eropa, AS, dan Asia beberapa kali sebagai direktur musik, produser, dan musisi bersama para tokoh ternama seperti Sarah Blasko, Delta Goodrem, Kuya James, Caiti Baker, Tasman Keith, Ego Lemos, Tom E. Lewis, Briggs, dan mendiang Ross Hannaford di antara banyak lainnya.
Djarimirri (Anak Pelangi), album studio terakhir Gurrumul, disusun dan diproduksi dalam sebuah kolaborasi antara Michael dan Gurrumul. Sebuah pencapaian musik yang menakjubkan, Djarimirri mempersembahkan lagu-lagu tradisional Yolngu dan nyanyian yang diselaraskan dengan aransemen orkestra yang dinamis dan memukau oleh komposer Erkki Veltheim, yang dimainkan oleh anggota Australian Chamber Orchestra dan Sydney Symphony Orchestra. Pada tahun 2018, album ini memulai debutnya di nomor satu di tangga lagu ARIA, dinominasikan untuk tujuh penghargaan ARIAS, dan memenangkan empat penghargaan. Adaptasi teatrikal dari album ini, Bunggul, yang Michael bertindak sebagai direktur musik dan disutradarai bersama oleh Don Wininba Ganambarr dan produser teater dan acara besar ternama Nigel Jamieson, dibuka dengan tiket yang terjual habis di Festival Sydney, Perth, dan Adelaide, sementara musim festival di Melbourne, Darwin, dan Brisbane ditunda karena COVID.
Skinnyfish Music juga mempersembahkan dan memproduksi Festival Barunga selama hampir satu dekade dan Festival Jazz Internasional Darwin perdana pada tahun 2024.
DONALD WININBA GANAMBARR
(DIRECTOR. INDIGENOUS AUSTRALIAN)

Don adalah seorang pria senior suku Yol?u dari Galiwin’ku di Pulau Elcho di Australia Utara. Selain menjadi saudara ipar Gurrumul, statusnya adalah sebagai pemimpin budaya, yang juga dikenal sebagai Djungaya. Dalam perannya tersebut, ia bertanggung jawab atas masalah budaya dan keluarga bagi beberapa klan di North East Arnhem Land.
Yang sangat penting bagi proyek ini, nenek Don dibawa oleh orang-orang Makassar dan akhirnya meninggal dunia di Makassar. Pada tahun 1980-an, Don pergi ke sana untuk melihat lokasi pemakaman.
Pada pemilihan umum perdana di East Arnhem, NT, yang diadakan pada bulan Oktober 2008, Don terpilih sebagai salah satu anggota dewan pertama untuk East Arnhem Shire Council (wilayah Gumurr Marthakal Ward). Tugasnya meliputi mewakili kepentingan semua penduduk wilayah tersebut, memberikan kepemimpinan dan bimbingan, serta berpartisipasi dalam musyawarah dewan dan kegiatan masyarakat.
Dari tahun 2019 hingga 2023, Don menjadi salah satu sutradara Bu?gul, yang diangkat dari album Gurrumul yang dirilis setelah kematiannya, Djarimirri (Anak Pelangi). Mendapat sambutan hangat di sebagian besar kota dan festival besar di Australia, Bu?gul memungkinkan penonton untuk menikmati musik dan tarian Yol?u yang dipadukan dengan tradisi musik Eropa.
Don juga merupakan anggota dewan Yayasan Gurrumul Yunipingu.
ABDI KARYA
(CO-ARTISTIC CURATOR. MAKASSAR)

Abdi Karya adalah seniman pertunjukan dan programer budaya dari Makassar. Ia telah menampilkan karya dan pertunjukannya di forum interdisipliner di Watermill Center-New York, Guggenheim Museum New York, International Theatre Festival di Colombo-Sri Lanka, Ubud Writers & Readers Festival, Makassar International Writers Festival, Jakarta-Jogja-Makassar Biennale, Castlemaine State Festival, The Rising Festival Melbourne, dan Indonesian Dance Festival. Ia telah mengembangkan serangkaian kolaborasi dengan masyarakat Yol?u di Northern Territory-Australia sejak 2014. Sebagai bagian dari upaya ini, ia mempersembahkan pameran Yol?u-Macassan 2017 di Makassar, Yol?u-Macassan Project di Asia Pacific Triennial-QAGOMA-Brisbane ke-10, di SalamFest 2023 di Melbourne, dan sekali lagi di Garma Festival 2023-2024. Ia merupakan anggota pendiri Marege Institute, sebuah kolektif seniman-sarjana-penggemar yang menceritakan hubungan historis antara Australia dan Indonesia melalui sejarah perdagangan Trepang.
Selain karyanya di Makassar-Marege, Abdi telah menghasilkan, mementaskan, dan menulis sejumlah besar karya yang telah dipresentasikan di berbagai forum di Asia, Australia, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika.
OUR TEAM
SUPPORTING MEMBERS
- Andi Awaluddin (Musician. Educator. Makassar)
- Anjelita (Singer. Dance. Makassar
- Ardiansyah Anwar (Bissu. Dancer. Makassar)
- Carly Bancorft (Administration officer. Skinnyfish Music. Australia)
- Didi Ardiansyah Arief (Musician. Makassar)
- Hendra Wahyu Tobo (Musician. Educator. Makassar)
- Imran Rauf (Musician. Makassar)
- Juang Manyala (Musician & Producer. Makassar)
- Paul Ryan (Arwana Design, IT/Consultant. Australia)
- Wahyuddin (Singer. Choreographer. Makassar)